Kisah Saijah dan Adinda : Purnama yang Tak Sempurna

Langit malam yang terlihat menghitam kelam tanpa bintang. Namun masih ada seberkas cahaya terang yang memeluk malam kala itu, ialah cahaya rembulan yang keindahannya menghiasi langit malam. Cahayanya lembut tak menusuk mata, membuat orang tak jemu menatapnya berlama-lama. Lewat keindahan sang purnama, orang-orang bisa mengagumi sang pencipta-Nya.
Tersebutlah, Seorang gadis bernama Adinda yang tinggal di Kabupaten Lebak, Banten pada masa kolonial Belanda. Sambil menumbuk padi diatas lesung kesayangannya, malam itu Adinda terlihat lebih bahagia menatap sang purnama. Kemudian, ia mengambil pisau, lalu menggoreskan sebuah turus di lesungnya. Setiap purnama tiba, bertambahlah jumlah turus-turus yang ada dilesung padinya itu. Ia akan sabar menunggu hingga waktunya tiba.
***
Pada masa kolinial Belanda di Kabupaten Lebak, Banten, hiduplah dua orang anak yang selalu menghabiskan waktu bersama, Saijah dan Adinda. Mereka adalah dua orang anak petani yang memiliki sepetak sawah yang bersebelahan dan masing-masing dari mereka memiliki seekor kerbau yang membantu mereka membajak sawah. Setiap hari mereka membantu keluarga mereka mengurus sawah yang menjadi satu-satunya sumber mata pencaharian keluarga mereka. Hanya sebagian kecil hasil panen itu, digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Namun sayang, sebagian besar hasil panen mereka digunakan untuk membayar pajak.
Saijah dan Adinda sama-sama menyayangi kerbau mereka. Setiap pagi, saat membajak sawah, Saijah dan Adinda menunggangi kerbau mereka masing-masing. Kemudian, merekapun melakukan perlombaan untuk membuktikan kerbau siapa yang paling cepat membajak sawah. Setiap kali mereka berlomba, hasilnya selalu saja kerbau saijah yang lebih cepat. Hal itu dikerenakan kerbau Saijah memang lebih tangguh dibandingkan dengan kerbau Adinda. Perlombaan balap kerbau itu, tak hanya mempererat tali persahabatan Adinda dengan Saijah. Ternyata, saking seringnya mereka bermain bersama kerbau, merekapun menganggap kerbau mereka sebagai sahabat. Mereka memberi makan kerbau bersama dan merawatnya dengan penuh kasih.
Pada suatu hari, dihari yang agak terik. Adinda dan Saijah membajak sawah tanpa ditemani orang tua mereka. Namun na’asnya,tiba-tiba seekor harimau mecoba mendekati mereka. Saijah yang pertama kali sadar akan kedatangan tamu yang tak diundang itu.
“Adinda, lari! Ada harimau”, teriak Saijah.
Dengan refleks, Adindapun lari sekuat tenaga menjauhi harimau itu. Ia menangis sambil berteriak minta tolong. Namun sayang, saat itu Saijah tak punya waktu untuk lari lagi, ia terperangkap oleh keganasan sang Harimau. Hariamau tersebut terus mendekati Saijah, siap merobek perutnya, mencabik dagingnya dengan taring yang tajam. Adinda tak kuat melihat kondisi Saijah. Tapi, Saijah yang baik hati meminta Adinda untuk pergi.
Kini Saijah pasrah menjadi santapan sang harimau, ia rela asalkan bukan Adinda yang diserangnya. Ketika sang harimau benar-benar akan menerkam Saijah, tiba-tiba saja datanglah seekor kerbau yang menyerang sang harimau. Harimau berpental dan kini malah berbalik menyerang kerbau. Saijah tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk lari. Dari kejauhan ia menyaksikan kerbaunya diterkam oleh harimau sampai robek perutnya. Saijah menangis melihat kerbaunya meraung kesakitan. Kerbau yang telah menjadi sahabat karibnya telah menyelamatkan nyawanya. Tak lama kemudian, warga desa datang dan mengusir harimau tersebut pergi dari sawah mereka.
Ibunya Saijah datang, lalu melihat kondisi Saijah dan Adinda. Untungnya, mereka berdua tidak kenapa-kenapa. Setelah mendengarkan cerita Saijah dan Adinda, ibu tersebut kemudian mendekati sang kerbau yang terluka. Beliau berterima kasih pada kerbau karena telah membantu untuk menyelamatkan nyawa anaknya dari terkaman harimau.
Selama beberapa hari, Saijah dan Adinda tidak diperbolehkan main ke sawah dulu. Jadinya, mereka membantu ibunya Saijah merawat luka kerbaunya. Namun sayang, setelah beberapa hari dirawat kerbau Saijah tidak bisa diselamatkan. Sekarang, keluarga Saijah tak punya kerbau lagi untuk membajak sawah. Ayah Saijah mulai khawatir jika tidak bisa memiliki gulden untuk melunasi pajak. Oleh karena itu, ayah Saijahpun memutuskan untuk menjual keris peninggalan leluhurnya untuk membeli kerbau yang baru.
Kini, Saijah memiliki kerbau yang baru. Walaupun kerbau tersebut tak setangguh kerbaunya yang dulu, Saijah tetap menyayangi kerbau tersebut. Kini, Saijah dan Adinda bisa berlomba membajak sawah lagi dengan kerbau mereka. Kembali bersahabat, dengan kerbau, sawah, dan terik mentari.
Hari berganti hari, Saijah dan Adindapun beranjak dewasa. Namun, pada saat yang bersamaan ternyata tarif pajak kepada Belandapun semakin tinggi. Ayah Saijah tak punya gulden lagi untuk membayar pajak. Akhirnya, kerbau Saijahpun dijual untuk membayar pajak yang semakin mencekik itu.
Karena tak punya harta lagi, Saijah dan Ayahnya berencana meninggalkan Lebak agar memperoleh beberapa gulden untuk melanjutkan hidup. Sebelum Saijah benar-benar pergi, ia berpamitan pada Adinda yang kini ia anggap lebih dari sekedar sahabat. Saijah berjanji pada Adinda untuk kembali setelah melewati 30 purnama.
“Adinda, jika sudah melewati 30 purnama, tunggulah aku dibawah pohon waru dipinggir desa. Tempat dimana kau memberikan bunga melati untukku”, pinta Saijah.
“Wahai Saijah, bagaimana aku tahu jika sudah terlewati 30 purnama itu?”, tanya Adinda.
“Caranya gampang, Adinda. Dihitung sejak kepergianku ini, maka setiap kali kau melihat purnama hitunglah ia dengan menuliskannya di lesung padimu. Jika jumlahnya sudah 30, maka saat itulah aku akan kembali”.
“Baiklah, Saijah”.
Pagi-pagi buta, Saijah dan Ayahnya yang tak mampu lagi membayar pajak dan mereka berusaha melarikan diri meninggalkan kabupaten Lebak. Mereka menumpang kereta barang dengan berganti-gantian agar tidak diketahui orang Belanda. Berat hati Saijah meninggalkan Adinda dan tanah kelahirannya. Namun, Saijah bertekad untuk bekerja keras agar bisa kembali, membawa banyak gulden lalu menikahi Adinda.
Saijah bekerja dengan giat dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari Batavia hingga ke Lampung. Singkat cerita, terlewat sudah 30 purnama itu. Saijah sudah mengantongi cukup gulden untuk meminang dan hidup bahagia bersama Adinda. Saijah memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya dan bertemu lagi dengan Adinda.
Setelah berjalanan jauh, sampailah Saijah pada sebuah gunung. Ia semakin bersemangat, karena desanya ada dibalik gunung tersebut. Hingga suatu hari, sampailah Saijah di pohon waru tempat Adinda memberikannya bunga melati. Ia menunggu Adinda dengan penuh sabar. ia yakin ia tidak terlambat, karena saat itu berdasarkan hitungan Saijah sudah tepat 30 purnama. Namun, Adinda tak kunjung terlihat. Ia menunggu lagi, mungkin Adinda salah menghitung hari.
Saijah mulai gusar dan khawatir karena sudah sehari semalam ia menunggu di pohon itu. Ia khawatir apakah Adinda sudah melupakan janjinya atau memang Adinda telah menikah dengan orang lain. Akhirnya ia memutuskan untuk datang langsung ke desanya dan mencari Adinda. Ia mempercepat langkah kakinya. Tak sabar hatinya untuk bertemu sang pujaan.
Rumah penduduk-penduduk sudah kelihatan. Saijah mulai lega. Saat memasuki perkampungan, Saijah yang ramah menyapa orang-orang yang lewat didepannya. Namun hatinya masih tetap tidak sabar untuk segera tiba di rumah Adinda.
Betapa terkejutnya Saijah. Ketika menyaksikan rumah Adinda kini telah rata dengan tanah. Ia bertanya kepada orang-orang yang berlalu lalang tentang keluarga Adinda. Seorang warga berkata bahwa keluarga Adinda telah pergi, diusir dari desanya karena tidak bisa membayar pajak. Adinda dan keluarganya pergi entah kemana. Saijah mencoba menanyakan pada orang-orang, namun jawabannya selalu sama. Mereka tak ada yang tahu. Kini, hanya tersisa puing-puing rumahnya saja. Saijah kemudian membongkar-bongkar reruntuhan rumah Adinda. Ia mencari lesung padi milik Adinda.
Saijahpun menemukan lesung tersebut. sambil bercucuran air mata saijah menghitung jumlah turus-turus yang ada di lesung padi itu. Jumlahnya ada 23 buah. Adinda benar-benar menepati janjinya dan berusaha menunggu Saijah. Andai saja Saijah pulang lebih cepat, mungkin ia masih bisa bertemu Adinda.
Namun, apalah daya. Kini Saijah tak pernah bisa bertemu lagi. Ia tak tahu kemana Adinda pergi. Kini Saijah hanya bisa meratapi nasib dan tak tahu apakah ia masih memiliki kesempatan bertemu dengan Adinda lagi atau tidak. Ia juga tak tahu apakah Adinda masih hidup atau sudah tiada. Yang pasti, kini cinta Saijah luluh lantah dan hatinya hancur. Selamat tinggal, Adinda!
Diceritakan kembali dari sebuah buku yang berjudul Max Havlaar (Salah satu cerita di Diari Matatuli)


Bandung, 28 Desember 2016

Postingan populer dari blog ini

Putri Tineke

Selamat Pagi Jogja

Rasa yang Tak terdefenisikan