Ramadhan Pertama di Paris dan Pelajaran mengelola prasangka

Kalau ada yang bertanya, apakah saya pernah bermimpi untuk berada di Paris? Jawabannya adalah tidak. Apakah saya pernah berdoa agar bisa ke Paris? Jawabannya juga tidak. Tanpa dimintapun, Allah memberikan kesempatan indah itu. Apalagi untuk sesuatu yang setiap hari kita pinta, kita doakan. Apakah mungkin Allah akan menggabaikannya? Insha Allah tidak. Jadi, London, tunggu ya! Percaya, sabar, usaha, tawakal, dan ikhlas.


Paris, Summer 2016
Adanya banjir sempat membuat kami mengurungkan niat untuk ke Paris. Ketika di Eindhoven, kami berdiskusi apakah akan tetap ke Paris atau tidak. Berdasarkan berita online BBC, sebagian kota Paris, khususnya kawasan Eiffle yang berada didekat sungai Seine, terendam air. Dari berita tersebut juga dikatakan bahwa banjir tersebut terjadi tiap 30 tahun sekali, bahkan ada yang mengakatakan tiap 100 tahun sekali. Dalam diskusi tersebut, sayalah yang bersi keras untuk tidak membatalkan rencana. Saya bilang, “bagus dong kalau kita bisa liat banjirnya, berarti kita bisa jadi saksi sejarah. Orang-orang harus nunggu 30 tahun atau 100 tahun untuk liat banjir di Paris. Lagian, nanti jalan-jalan kita di Paris, jadi jalan-jalan paling antimainstream. Sekalian aja nanti kita buat bakti sosial disana, bantu-bantu korban banjir”. Akhirnya, teman saya tersebut setuju untuk tetap pergi ke Paris. Sayang juga tiketnya, sudah dibeli juga. Sayang juga rencananya kalau tidak direalisasikan.
Ramadhan 1437 H, diawali sahur dengan 3 keping biskuit good time coklat dan sebotol air mineral 600 mL dalam sebuah bus. Enggak ada pilihan lain saat itu, karena yang ada di tas saya hanya sebungkus biskuit yang dibagi buat tiga orang. Walaupun, lamanya puasa akan mencapai 19 jam, tapi saya mencoba untuk niat berpuasa dulu. Kalau memang nanti siang mau pingsan karena jalan jauh sambil membawa koper, baru buka. Selepas menghabiskan keping-keping biskuit tersebut, saya putuskan untuk tidur sebentar lagi menunggu waktu subuh. Walaupun saya enggak tahu juga subuhnya jam berapa, karena sedang dalam perjalanan dari Eindhoven menuju Paris. Tapi Alhamdulillah, saya bisa terbangun sebelum matahari terbit.
Perjalanan menuju Paris memakan waktu sekitar 9 jam 35 menit, dikurangi 3 jam transit di Belgia yang super dingin dan membuat beku. Jam 07.05 am, saya dan teman-teman tiba di salah satu Bus Stop Paris, Bunderan “Porte Malliot”. Setelah menggambil koper, kami berjalan mencari stasiun kereta. Inna, sebagai orang pernah ke Paris menjadi penunjuk jalan. Saya mengikuti Inna yang berjalan menuju sebuah Mall. Sayangnya, ketika disana, stasiun kereta tersebut sedang ditutup. Hal ini kemungkinan dikarenakan Paris baru saja dilanda banjir atau karena memang belum beroperasi sepagi ini.
Kemudian, Inna menuntun jalan menuju stasiun lain yang terdekat dengan menggunakan insting. Maklum, Paris sangat berbeda dengan kota-kota di Belanda. Kalau di Belanda, banyak sekali wifi gratis dimana-mana. Tapi kalau di Paris, tidak ada. Makanya jangan sampai hilang, nanti susah dicarinya. Ketika sampai di stasiun lain, kami mencoba membeli tiket. Tiba-tiba seorang anak muda datang menghampiri kami. Dia menunjukkan name tagnya, dia berkata bahwa dia adalah petugas dari stasiun yang tugasnya adalah membantu calon penumpang. Ada perasaan yang muncul karena gerak-geriknya mencurigakan, seolah ada yang membisikkan sesuatu, “Trust No One, here”. Namun, seketika saya mencoba membuang jauh-jauh hal tersebut dan mulai mengajakknya mengobrol. Teman saya, inna, mencoba membayar tiket seharga 9 Euro perorang dengan uang tunai. Katanya, tiket kereta 9 Euro tersebut bisa digunakan seharian kemanapun selama di Paris. Kami percaya, namun sayangnya mesin tiket tidak mau menerima koin kami. Kemudian, dia mencoba menolong kami menggunakan kartu kreditnya. “Baik banget”, kata saya dalam hati.  Kami mengganti uangnya sejumlah 27 Euro untuk 3 orang. Tiket sudah ditangan, kami bertanya-tanya tentang stasiun yang dekat dengan Arc de triompe, Eiffle tower, dan Louvre museum. Anak muda itu menjelaskan dengan detail dan saya mencatatnya disebuah kertas.
Kami menuruni tangga stasiun menuju bawah tanah. Anak tangga di stasiun Paris sangat banyak, jadi harus menyiapkan tangan yang kuat untuk narik-narik koper. Sepanjang perjalanan ke ruang bawah tanah tersebut, saya mulai memperhatikan orang-orang Paris. Mereka berjalan sangat cepat, suara sepatunya berdetak cepat. Mereka semua seperti terburu-buru, tanpa suara, dan tanpa senyum. Semua wajahnya datar, tak berekspresi. Mereka yang juga tinggi-tinggi, mungkin telah membuat kami tidak terlihat dalam jarak pandang mereka. Suasana disana benar-benar mirip dengan sebuah film animasi, “The Little Prince”. Film yang menceritakan tentang seorang anak kecil di Paris yang khawatir untuk menjadi dewasa. Dalam film tersebut, diceritakan bahwa dunia orang dewasa di Paris bergerak tanpa senyuman, tanpa tawa yang ada hanya kerja, kerja, kerja dan kerja. Agaknya, film tersebut terlihat nyata dalam kondisi ini. Ketika saya duduk disebuah kursi tunggu, saya memperhatikan orang-orang lagi. benar-benar tidak ada yang berinteraksi antar dua orang sama sekali. Ada yang sedang membaca koran, membaca buku, bermain handphone, membenarkan make up, semuanya serba sendiri-sendiri. Mungkin saat itu, Cuma kami bertiga yang bersuara disana.
Kereta yang akan ditumpangi datang. Tujuan kami adalah stasiun Charles de Gaule, untuk melihat Arc de triompe. Tak butuh waktu lama, keretapun berhenti distasiun tujuan. Saya dan teman-teman turun dengan koper masing-masing. Seketika hanya terdengar suara gemuruh sepatu-sepatu orang-orang Paris. Saya tidak melanjutkan perjalanan beberapa saat, untuk menunggu mereka semua naik. Takutnya, koper-koper ini akan memperlambat langkah mereka. Ketika agak sepi, barulah saya dan teman-teman menggunakan eskalatornya. Ternyata, naik tangga sambil mengangkat koper menjadi lebih menantang lagi. Cuma bisa berdoa, semoga tangan ini kuat. Alhamdulillahnya enggak ada air mata yang keluar seperti saat mengangkat koper naik tangga distasiun Pasar Senen tahun 2013 lalu. Huhu.
Ketika sedang berusaha mengangkat koper naik turun tangga. Entah ada angin apa, firasat saya seperti menyuruh saya menoleh kebelakang. Saat saya menoleh, seketika terdengar suara dari tas saya. Astaghfirullah, there are 3 young girl behind me and try to open my bag. Mereka terlihat kaget ketika saya melihat mereka dan memergokinya. Tubuh saya mengirimkan sinyal siaga, “They are the pickpocket”, tapi belum tentu juga. Saya terus mengawasi mereka dan akhirnya mereka menjauh. Kali ini saya harus lebih hati-hati. Sebelum saya menuju pintu keluar, saya meminta teman-teman saya untuk menunggu, “I have to check my wallet and my phone”. Alhamdulillah, enggak ada yang hilang. Saya mengambil tiket agar bisa keluar. Saya dan teman saya, Lucky bisa. Namun, Inna mengalami mengalami kesulitan. Tiketnya agak bermasalah, sehingga Inna harus mengurusnya terlebih dahulu. Saya dan Lucky menunggu Inna di luar pintu. Saya memulai lagi, memperhatikan orang-orang. Tiba-tiba disela-sela pintu keluar tersebut, ada 3 young girl yang tadi. Mereka mencoba keluar dengan paksa, mereka tidak punya tiket. Saya terus siaga. Saya memperhatikan, bagaimana kesusahannya mereka menerebos pintu keluar yang tertutup itu dengan paksa. Lalu anehnya, setelah berhasil, mereka mencoba masuk lagi. lalu tak lama keluar lagi, bersusah-susah lagi. Lengkap sudah puzzle kecurigaan saya, mereka ada disini bukan untuk naik kereta, mereka punya agenda sendiri.
Inna yang sembari mengantri di locket petugas kereta ternyata memakan waktu agak lama. Sekarang, the 3 young girl kini berada dekat saya dan Lucky. Saya heran, kenapa mereka terlihat semakin mencurigakan. Mata mereka melirik-lirik ke arah kami dan tidak beranjak pergi dengan segera seperti orang-orang lainnya. Mata kami bertatapan dan saya bertahan untuk menatap mereka. Tiba-tiba, seorang ibu yang baru keluar datang menghampiri kami. “Can you speak english?, Be carefull with your bag. The 3 young girl are pickpocket”, kata seorang ibu tersebut sembari pergi. Kami hanya mengangguk-ngangguk dan mengucapkan kata “Merci”. Setelah agak lama, akhirnya the 3 young girlpun pergi meninggalkan kami. Dan akhirnya Inna juga selesai mengurus tiketnya. Ujian pertama di Ramadhan kali ini adalah tentang bagaimana mengelola prasangka dan mengasah kepekaan untuk melihat mana yang benar-benar baik dan tidak asal-asalan berasumsi. Semoga Allah selalu melindungi, baru sejaman di Paris ini.
Saya, Inna dan Lucky menaiki tangga lagi, akhirnya sampai di permukaan tanah. Dari kejauhan terlihat Arc de triompenya. Kami berjalan menuju bagunan yang menjadi salah satu icon kota Paris itu, walaupun di Kediri juga ada sih, hehe. Setelah kami tiba, ternyata disana sudah dikerumumi banyak turis. Yang paling kelihatan beda adalah turis-turis dari Jepang. Sama seperti turis-turis lainnya, tak lupa sayapun berfoto disana. Maaf ya.
Sebelum ke Paris, Isqim atau mbak Enji, seorang teman di Indonesia menasehati, “nanti kalau ada yang tanya, “can you speak english?”, terus minta nulis nama dan tanda-tangan, jangan mau ya, diemin aja”. Ternyata benar, kini pertanyaan itu hadir dihadapan saya. Saya cuma geleng-geleng saja. Sambil berfoto-foto, saya terus memperhatikan orang-orang yang membawa kertas dan pulpen itu. Kenapa jumlahnya sangat banyak? Tak lama, terjadi keributan. Orang-orang yang membawa kertas tersebut seperti terbagi menjadi dua kubu dan saling beradu mulut. Suara teriakan mereka memecahkan keheningan pagi di kota Paris kala itu.
Kami menunggu agak lama di Arc de triompe, soalnya tempat ini merupakan meeting point dengan dua sahabat saya, Ruli dan Thoriq. Janjiannya jam 10 pagi, tapi sudah jam 11 mereka tak kunjung tiba. Enggak bisa mengabari mereka juga, karena disini benar-benar tidak ada wifi, dikeretanyapun enggak ada. Kami memutuskan menunggu 30 menit lagi. Mereka tak kunjung tiba, akhirnya saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan ke tempat selanjutnya, Louvre Museum. Siapa tahu mereka ada disana.
Dari Arc de triompe menuju Louvre, kami jalan kaki. Sebenarnya saya kasian sama kopernya, takut rodanya kenapa-kenapa. Tapi kalau memikirkan gimana susahnya naik turun tangga stasiun sambil bawa koper, maka saya lebih memilih jalan kaki. Kalau jalan kaki bisa punya kesempatan melihat-lihat kotanya. Lagian jalannya tinggal lurus saja dan ternyata jalan yang kami lewati itu adalah pusatnya Fashion di Kota Paris, kalau enggak salah ya. Sepanjang perjalanan, Inna menjelaskan brand-brand jam tangan ternama yang toko-tokonya kami lewati. Inna juga menunjukkan toko-toko Fashion-Fashion kece, tapi saya hanya ingat Zara saja, selainnya lupa karena enggak pernah denger. Sepanjang perjalanan itu, saya melihat pramuniaganya kayak model semua, kalau di Indonesia mungkin sudah pada jadi artis.
Ketika saya melihat bangunan-bangunan yang berdiri megah di Paris, entah kenapa saya tidak merasa asing. Hal ini, mungkin karena saya terlalu sering melihat video perjalanannya “Nick & Mar” dan video Trailer Film “99 Cahaya di Langit Eropa”. Yaa, video-video tersebut seringkali menjadi moodbooster kalau saya lagi enggak semangat belajar. Saya sering enggak semangat, jadinya mungkin sudah 20an kali diputar terus.
Perjalanan menuju Louvre ternyata lama juga. Setelah melewati toko-toko brand-brand ternama itu, kami harus melewati sebuah taman. Saya excited melihat sebuah bianglala didepan pintu taman. Itu bianglala yang ada di film “Nick & Mar”. Ketika saya tanyakan pada Inna dan Lucky, apakah mereka pernah mengikuti film tersebut, jawaban mereka adalah tidak.
Bianglala terlewati, kata Inna, perjalanan ini tinggal sedikit lagi. Lewat sebuah taman lalu sampai di Louvre. Tamannya cantik dan Indah banget, rasanya betah kalau bisa jalan-jalan dan main-main sama keluarga di taman ini. Ada taman bunganya, kolamnya, kursi-kursi taman yang bagus, lalu ada beberapa burung merpati juga yang berterbangan. Hampir di berada di ujung taman, ada dua orang yang menawarkan souvenir-souvenir khas Paris, menara Eiffle dan gantungan kunci Eiffle. Saya perhatikan dengan saksama, ini yang jualan benda-benda itu semuanya orang negro. Mereka mengatakan, “assalammualaikum”, begitu. Terus bisa bahasa indonesia sedikit, “Ini murah”. Saya dan Lucky tergoda untuk membeli souvenir tersebut. Setelah menyerahkan beberapa Euro, saya berpamitan dan melanjutkan perjalanan.
Diujung taman tersebut, terdapat sebuah bangunan semacam gerbang yang diatasnya terdapat patung Napoleon Bonaparte bersama beberapa pasukan berkudanya. Hanum Salsabila Rais yang diperankan oleh Acha Septriasa dalam film 99 cahaya di Langit Eropa pernah membahas tentang bangunan itu. Saya ingat penggalan kalimat yang ia ucapkan ketika melihat patung tersebut,
“Jadi patung itu menghadap lurus ke ka’bah, Marion?”, tanya Hanum.
“correct, Hanum”, jawab Marion.
Di Paris terdapat garis Imajiner seperti garis lurus yang menghubungkan bangunan-bangunan yang menjadi icon kota Paris, dimulai dari Arc de triompe, obelisk, dan patung Napoleon Bonaparte. Berdasarkan film itu, Marion menjelaskan pada Hanum, kalau ditarik garis lurus lagi dari patung Napoleon Bonaparte tersebut maka bangunan yang di arahkan adalah bangunan yang paling impressiv di dunia, Ka’bah. Disebuah taman dengan rumput hijaunya sepertinya menjadi tempat peristirahatan Mbak Hanum dan Marion ketika itu. Mbak Hanum sangat beruntung bertemu Marion, karena Marion adalah ahli sejarah di Paris. Ketika berjalan-jalan, Marion selalu meceritakan tentang sejarah Paris dan hubungannya dengan sejarah islam.
Setelah keluar dari taman tersebut, akhirnya saya tiba di Museum Louvre. Museum yang pernah dibahas seluk beluknya dan dikupas tuntas dalam bukunya Dan Brown dengan judul The Da Vinci Code, yang bercerita tentang pencarian Holy Grayl (Tempat Suci). Sayangnya, ketika saya kesana museum ini sedang ditutup karena banjir dan harus direnovasi sedikit. To tell the turth, kalau misalnya museum ini dibukapun, saya tetap tidak bisa masuk karena berat di kantong. Semoga kapan-kapan bisa kesana dan lihat-lihat isi Museumnya.
Ketika selesai bermain-main di Louvre, saya masih bertemu Ruli disana. Salah satu hal yang enggak enak di Paris, ga ada wifi. Sehingga saya tidak bisa menghubungi Ruli. Sambil melihat sekeliling, sosok Ruli tak kunjung terlihat. Akhirnya saya dan teman-teman memutuskan untuk menuju tempat selanjutnya. Eiffle Tower. Sebuah tiang yang dirancang oleh Alexander Gustav Eiffle ini telah berhasil menarik banyak orang dari seluruh dunia untuk sekedar berfoto. Padahal kata dosen saya, “Ngapain mainnya ke Paris mbak, Eiffle itu Cuma tiang listrik, kotanya kotor lagi”. Saya menjawab, “Yah pak, saya sudah beli tiket busnya”.
Betapa beruntungnya ada Inna. Ia tau dimana letak pintu stasiun yang menuju bawah tanah itu. Inna menunjukkan jalan lagi, harus hati-hati lagi, jaga tas baik-baik. Stasiun yang paling dekat Eiffle adalah Bir Hakim. Sesampainya dipintu masuk ke platform kereta, tiba-tiba ada yang bermasalah dengan tiket kami. Kata petugas stasiun tadi, kan tiket kami bisa dipakai seharian, tapi nyatanya error. Alhasil, kami tidak bisa masuk. Saat kami tanya ke petugas stasiun, beliau bilang kalau kami ditipu. Soalnya tiket kami ini untuk anak-anak. Jadi, dia menyarankan agar kami beli tiket yang baru. Kami mengeluarkan 5 Euro lagi. beliau menyetak tiket kami. Akhirnya kami bisa melewati pintu masuk. Ketika dalam perjalanan ke platform,
“Eh lihat deh, ini kok tulisan di tiketnya 0,00 Euro ya? Harusnya gratis dong?”, kata inna.
“Iya, punyaku juga”, sambung Lucky.
“Hmm, padahal waktu aku lapor di stasiun awal tadi, petugasnya enggak bilang kalau ini buat anak-anak. Harusnya kita sudah ditahan dari awal dong kalau salah beli tiket”, kata Inna lagi.
“terus siapa dong yang enggak bisa dipercaya?, tanya saya.
“Enggak tau”, kata Lucky.
“Yaudah deh ikhlasin aja, yuk jalan lagi”.
Setelah beberapa menit berlalu, dari balik jendela kereta. Tiang listrik Eiffle sudah kelihatan. Dari stasiun Bir Hakim, kami jalan kaki lagi menuju Eiffle. Disepanjang perjalanan terdapat banyak penjual oleh-oleh souvenir Paris. Sebenarnya ingin beli-lagi, tapi baru juga 3 hari di Eropa, jadi enggak boleh boros-boros. Dengan sebuah koper ditangan, akhirnya tiba di bawah menara Eiffle.
“Oh jadi ini tho, tempatnya Nick sama Mar ketemuan”, lalu saya senyum-senyum sendiri. Tempatnya biasa aja.
Kami mencari-cari tempat penitipan barang tapi tidak ada ternyata. Di stasiun tadi juga enggak ada. Beda sama di Belanda. Kalau di Belanda ada, tapi bayarnya pakai kartu kredit, “duh ra nduwe juga”, hiks.
            Dibawah menara Eiffle, saya ketika saya perhatikan disekelilingnya. Tenyata banyak lagi orang-orang yang bertanya, “can you speak English” dan menyodorkan selembar kertas. Saya dan teman-teman diam lagi. seorang kakak pernah cerita, dia menuliskan namanya dikertas tersebut. lalu ada orang yang datang lagi minta uang ke kakak tersebut. beliau memberikan uang recehnya, tapi malah dimarah-marah. Mereka mintanya minimal 10 Euro. Kebetulan, sang kakak adanya uang 50 Euro. Pas dikasihkan, ternyata langsung dibawa kabur dan kembaliannya enggak dikasih. Sebenarnya kita tidak boleh pilih-pilih dalam membantu orang lain, kasihan juga mereka, pasti mereka melakukan itu karena alasan tertentu. Tapi memang Nisanya masih cupu, masih enggak berani kalau sampai berbenturan dengan konflik tertentu, apalagi di negara orang. Jadi saya memilih diam.
            Tak lama, ada lagi orang datang. menawarkan souvenir, tapi saya sudah beli ditaman tadi. Jadi saya meminta maaf. Yang anehnya, semua penjual souvenier itu adalah orang-orang kulit hitam semua. Saya mengetahui itu karena mereka sedang gaduh dan tiba-tiba berkumpul dijalan dan siap-siap untuk lari, sepertinya ada polisi yang mengejar mereka. Sambil menyelematkan dagangan, mereka meninggalkan Eiffle. Saya tidak tahu alasannya, mungkin karena mereka tidak memiliki izin tinggal atau izin kerja di Paris. Semoga hidup mereka lebih baik kedepannya, ya.
            Kemudian saya melewati jembatan sungai Seine yang berada persis di depan Eiffle. Tujuannya untuk mengunjungi sebuah gedung bertangga dan dari diatas sana, bisa mengambil gambar yang Eifflenya kelihatan semuanya. Sebenarnya kaki ini sudah lelah, tapi harus semangat.
Sungai Seine, airnya kerus ketika itu, namun bagi saya hal tersebut tidak mengurangi keindahannya. Dijembatan ini, tempat dimana Mbak Hanum, Mas Rangga dan Marion bertemu pertama kali. Tempat dimana mas Rangga meninggalkan mbak Hanum untuk menuju tempat konferensinya. Lagi-lagi, saya ingat film 99 Cahaya di Langit Eropa. FYI, kalau lagi tidak semangat belajar, biasanya saya memutar trailler Film 99 Cahaya di Langit Eropa ini, dimana ada bagian pak Rangga sedang Adzan di menara Eiffle dan tertawa bersama Mbak Hanum saat melihat kota Paris menggunakan teropong. Lalu, ada juga video sountrack film Nick and Mar yang judulnya Far Away. That video makes me feel “I’m in Paris”.
 Setelah menyebrangi sungai Seine, saya menemui komedi putar dan tempat jualan Crepes. Lagi-lagi, ini adalah tempat yang ada di Film Nick and Mar. Sayangnya, saat saya tanya ke Inna dan Lucky, mereka ternyata belum pernah nonton filmnya. Jadinya seperti bernostalgia sendirian. Sebelum mencapai tangga-tangga itu, kami melewati taman lagi. apakah Paris ini memang banyak taman-taman indahnya? Saya tidak tahu juga, tapi dua taman yang saya lewati ini benar-benar indah. Banyak anak-anak kecil, bayi-bayi bule yang super imut berkejar-kejaran dan tertawa bersama dengan ayah dan ibunya. What a sweet memory.
            Tangga pertama dipijak dikuti dengan tangga-tangga selanjutnya. Tak lama, dengan kaki yang semakin pegal, akhirnya tiba juga dimana Eiffle bisa dilihat seluruhnya. Di atas sini, banyak sekali orang-orang. Jadi kami harus antri. Sabar-sabar.
Puas menggambil foto, saya menuruni tangga. Hari sudah beranjak siang. Saya harus mencari tempat untuk shalat zuhur sekaligus asar. Saya dan teman-teman memutuskan untuk istirahat ditaman yang dilewati tadi. Kebetulan disana ada kamar mandi umum, jadi bisa bersih-bersih dan mengambil wudhu. Disebelah bangku taman, saya sholat. Saat saya mengucap salam, ekor mata saya menangkap sesosok kakek yang ternyata memperhatikan sedari tadi. Saya hanya senyum dan melanjutkan sholat lagi karena di Jamak Qasar. Setelah selesai sholat yang kedua, kakek tersebut tidak ada lagi. muncul pertanyaan dalam benak, “kakek tersebut kenapa ngeliatin ya?”.
Setelah merasa cukup istirahat, kami bersiap untuk kestasiun lagi. dalam perjalanan meninggalkan taman, saya bertemu dengan seorang bapak. Beliau orang Paris yang ramah. Beliau mengajak ngobrol tentang Paris dan orang-orangnya. Lalu beliau juga mengajak kami berfoto bersama. Dari cerita beliau, ternyata beliau adalah orang yang suka travelling dan sudah beberapa kali datang ke Indonesia, khususnya Bali. Kata beliau, Orang di Indonesia ramah-ramah, jadi beliau minta maaf kalau orang-orang di Paris kurang ramah. Beliau juga memberikan sebuah peta. Saya bertanya tentang daerah Quay de Bercy. Daerah dimana pol megabus berada. Beliau dengan antusias menjawab bertanyaan saya dan membantu menacari jalur kereta menuju daerah tersebut. saya mencatatnya dengan saksama.
Selepas berpamitan, kami berjalan lagi menuju stasiun. Namun sebelumnya, saya membeli crepes caramel ditempat dimana Nick dan Mar beli crepes juga. Crepes ini akan jadi menu berbuka puasa saya. Aromanya sangat menggoda, tapi harus tahan godaan puasanya masih sekitar 5 jam lagi.
Perjalanan ke stasiunnya lumayan jauh walaupun tinggal lurus-lurus saja. Saya tidak tahu dimana ujungnya, jadi ya jalan aja. Ketika bingung, saya sesekali bertanya pada seorang Ibu muda yang sedang berjalan sore dengan anaknya. Orang Paris ramah-ramah juga kok, ketika disapa mereka mau menoleh dan ketika ditanya mereka bersedia memberikan arahan.
Singkat cerita, saya dan teman-teman tiba di Quay de Bercy. Dari stasiun menujul Pol busnya lumayan jauh lagi, melewati pertokoan, bar-bar dan akhirnya lapangan futsal. Dilapangan futsal tersebut, ada semacam tempat singgah. Kami menunggu malam disana. Lagian tiket busnya pukul 11.00 pm. ketika Inna dan Lucky memperhatikan orang-orang yang bermain futsal dan latihan akrobat, saya asik mengambar. Alhamdulillah dapat dua lukisan ketika itu.
Dengan penuh kesabaran melawan aroma crepes yang terbang kemana-mana. Akhirnya mataharipun tenggelam. Tiba saatnya melahap crepes tadi. Saya, Inna dan Lucky menikmati crepes kami masing-masing. Alhamdulillah berhasil melewati puasa pertama di Eropa, 19 Jam. Kalau di indonesia mereka sudah sahur puasa kedua, tapi saya baru buka puasa pertama. Jadi ingat lirik lagunya tulus, “Kau menanti datangnya malam, saatku menanti fajar”.
Selesai berbuka puasa, saya dan teman-teman berjalan sedikit lagi menuju pool megabus. ternyata sudah banyak penumpang yang menunggu. Ada banyak juga bus yang berpakir. Yang bikin saya shock, ada seorang wanita yang menjadi supirnya. Padahal busnya sangat besar. Wanita pemberani. Selanjutnya saya, bejalan memperhatikan tulisan tujuan yang ada disetiap bus, saya mencari tulisan Amsterdam. Dalam perjalanan itu, terdapat bus yang bertuliskan London. Saya menelan ludah dan berdoa semoga suatu saat bisa ke London. Bus terakhir, bertuliskan “Amsterdam”. Saya memanggil Inna dan Lucky. 
“Guys, disini bus kita”.
Good bye, Paris









Postingan populer dari blog ini

Putri Tineke

Selamat Pagi Jogja

Rasa yang Tak terdefenisikan