Ramadhanku di Pulau Formosa
Satu kata yang menggambarkan
ramadhanku kali ini adalah B.E.R.A.T.
Bagiku, ini
adalah ramadhan yang paling berkesan dan paling menantang dalam hidupku. Ramadhan
kali ini aku lalui di negeri yang berbeda, Taiwan. Bukan di Aceh, Indonesia.
Dahulu kala Taiwan mendapat julukan pulau Formosa dari orang portugis yang
menjelajahi pulau ini. Pulau Formosa artinya pulau yang indah. Ramadhanku di Pulau Formosa, walaupun berat
tapi aku senang, merasa di sangat di sayang oleh Allah, karena Allah selalu
menjabah doa-doa yang aku panjatkan.
Kunjunganku
ke pulau Formosa ini, bukan dengan maksud liburan atau jalan-jalan. Kunjunganku
disini adalah untuk mengikuti program pertukaran mahasiswa di Kaohsiung medical
Universty, Taiwan. Setiap pagi, aku wajib mendatangi salah satu laboratorium di
kampus tersebut untuk melakukan penelitian. Disana, aku memiliki seorang teman
yang bernama Grace. Dia asli keturunan Taiwan. Saat jam makan siang, aku dan
grace selalu keluar kampus untuk mencari makanan. Aku selalu berpesan padanya
agar mencari tempat makan yang tidak menggunakan minyak hewan dan menjual
seafood. Sedikit susah mencari tempat makan seperti itu, secara Taiwan
merupakan Negara minoritas muslim. Namun, demi aku, Grace selalu mau
mencarinya.
Saat makan
siang terakhirku bersama grace, aku berkata bahwa besok aku tidak bisa makan
siang lagi bersamanya, karena besok aku harus berpuasa dan puasa adalah
kewajiban seorang muslim. Setelah mengucapkan hal tersebut grace bertanya padaku,
bagaimana itu puasa?, aku menjawab, puasa adalah keawajiban umat muslim untuk
tidak makan dan minum selama ada matahari. Jadi aku boleh makan dan minum
sebelum matahari terbit dan setelah matahari terbenam. Dia tercengang, lama
sekali aku bisa mati kalau seperti itu. Aku hanya senyum saja melihatnya karena
dia mengelus-ngelus perutnya. Terus apa fungsinya puasa? Tanyanya lagi. Untuk mengontrol
diri sendiri, jawabku. Besoknya, grace mengumumkan pada teman lainnya kalau aku
sedang puasa. Lalu, diapun menjelaskan tentang puasa dan ramadhan. Aku senang
karena dia menghargai agamaku.
Pagi hari
sekitar pukul 03.00, akupun membuka rice cooker yang dibawa dari Indonesia. Rice
cooker ini memang aku persiapkan untuk menemani saat-saat sahur dan berbuka
puasa. Walupun agak aneh membawanya, namun rice cooker ini sangat membantu. Aku
sekamar dengan tiga orang teman yang berasal dari Singapore, polandia dan
turki. Dua dari mereka non-muslim. Sedangkan yang dari turki sebenarnya dia
muslim juga, tapi dia berkata bahwa tidak kuat puasa disini karena terlalu
panas. Alhasil, akupun sahur, berbuka puasa dan sholat tarawih sendirian.
Seminggu berlalu,
akupun berhasil menjalankan ibadah puasa walaupun panas sangat menyengat di
kota Kaohsiung ini. Di saat jam makan siang, biasanya aku ikut grace dan
temannya makan. Aku hanya duduk memandangi mereka makan soalnya tidak enak juga
berada di laboratorium seorang diri. Niatku hanyalah ingin jalan-jalan dan
mencari udara segar.
Setelah selesai
meneliti, aku langsung kembali ke asrama. Istirahat sambil menunggu waktu
berbuka puasa. Pada suatu sore, aku bertemu dengan seseorang. Dari warna
kulitnya, aku sudah menebak kalau dia berasal dari Afrika. Saat berpapasan dia
mengucapkan “assalammu’alaikum” padaku. Akupun membalas salamnya. Lalu, kami
berhenti sejenak. Akupun bertanya padanya, “are you muslim?”. Dia menjawab iya.
Saat itu aku bahagia sekali bisa bertemu saudara seiman dari benua yang
berbeda. Setelah bertanya-tanya, ternyata namanya adalah Ibrahim berasal dari
Gambia. Dia baru setahun di Taiwan karena mendapat beasiswa berkuliah di
jurusan Biomedical Science. Dan lebih kerennya lagi, saat aku bertanya dimana
dia menemukan makanan halal, lalu aku medapatkan jawaban yang tidak aku sangka,
dia selalu masak sendiri. Aku sedikit kaget dan malu. Kemudian dia menawarkan
akan memberikan hasil masakannya. Akupun menggangguk, oke. Sejak saat itu, selama 3 hari akupun mendapatkan makanan
untuk berbuka puasa dari Ibrahim. Menunya khas Afrika, menu pertama dan kedua
adalah sup okra, lalu yang terakhir yasa. Sup okra sangat enak, banyak
rempah-rempahnya, namun tampilannya kurang baik. Sedangkan yasa, seperti kari
yang banyak bawang bombaynya. Yasa ini dimakan bersama roti. Alhamdulillah ya, karena diberi makanan halal
oleh Ibrahim.
Sup
okra, makanan khas Afrika dari Ibrahim
Tanpa terasa, aku
berhasil menjalani ibadah puasa selama hampir seminggu. Pada suatu malam,
selepas sholat tarawih, tiba-tiba handphone ku bordering. Aku mendapatkan
sebuah pesan singkat dari penjaga rumah professorku. Kebetulan sekali, dia
berasal dari Indonesia. Sehingga saat aku berkunjung kerumah professor, kami
berbincang-bincang menggunkan bahasa Indonesia. Malam itu, isi pesan singkatnya
adalah untuk mengingatkan aku agar besok ikut makan siang di rumah ibunya
professor, karena mereka sudah memasak banyak dan ingin makan siang bersama
denganku. Spontan, aku membalas pesan singkat itu, “besok nisa puasa kak”. Lalu
dia membalas lagi, “besok enggak usah puasa aja, sekali ini aja”. Akupun teringat
isi kajian bersama salah seorang ustad di Indonesia, “barangsiapa tidak
berpuasa tanpa alas an yang syari’I, maka walaupun dia menggantinya dihari
lain, Allah tidak akan menerimanya”. Lalu
akupun membalas lagi, “insyaallah ya kak, semoga besok memang tidak bisa puasa”.
Malam itu, akupun menutup mata, sambil berdoa pada Allah, “ya Allah, aku tidak
mau membatalkan puasa hanya karena takut pada manusia, semoga besok aku memang
tidak bisa puasa ya Allah”. Pagi harinya,
aku telat bangun tidur dan tidak sahur. Namun, keajaiban benar terjadi, Allah
mengabulkan doaku. Hari ini dan beberapa hari kedepan aku tidak bisa berpuasa. Siang
itu, kamipun bisa makan siang bersama. Ternyata benar, masakannya enak-enak. Akupun
menyantap makanan itu dengan lega di siang hari ramadhan.
Keesokan harinya,
aku dan professor berkunjung ke universitas lain di Tainan, Taiwan. Perjalanan dari
kota Kaohsiung kesana sekitar 1 jam. Di universitas tersebut, aku bertemu
dengan professor wu. Beliau memperkenalkan beberapa laboratoriumnya. Setelah berkeliling
di universitas tersebut, kamipun diajak makan siang di salah satu restoran Thailand.
Lagi-lagi aku menyantap makanan yang tersedia tanpa rasa bersalah. Berkah ramadhan
bagi wanita, aku tersenyum dalam hati.
Rencana Allah
sungguh manis untukku. Saat aku tidak diwajibkan untuk berpuasa, saat itu pula
setiap siang, professorku selalu mentraktir makan siang di restoran-restoran
high class yang ada di Taiwan. Hal ini beliau lakukan karena hari minggu nanti
beliau akan berangkat ke kroasia selama 12 hari. Jadi beliau ingin, aku bisa mendapatkan
pengalaman yang tidak terlupakanProfessorku bernama chen chin Lin. Aku beruntung
bertemu dengan beliau. Beliau adalah orang yang sangat ramah dan baik hati. . Dalam
minggu tersebut pula, tepatnya pada tanggal 16 juli 2013, professorku berulang
tahun. Aku dan staff professor merayakan ulang tahun beliau di puncak gunung
sambil menikmati pancake dan es krim.
Makan siang
bersama professor wu(kiri) dan professor Lin (kanan) serta murid professor wu
Tebayaki(masak
di atas meja), makan siang di salah satu restoran jepang bersama prof. Lin
Saat weekend
tiba, aku mengajak temanku untuk berkunjung ke satu-satunya mesjid yang ada
dikota Kaohsiung. Aku menemukan alamatnya dari sebuah situs internet. Dengan mengendari
bus, akhirnya, kamipun sampai di mesjid tersebut. Setiba disana, Salah seorang
penjaga mesjid mengajak kami berbincang-bincang dan menerangkan banyak hal
tentang isalam. Hingga pada akhirnya, dia mengundangku untuk berbuka puasa
bersama dan shalat tarawih disana. Aku ingin sekali memenuhi undangan tersebut.
Namun, karena jarak mesjid dengan asramaku cukup jauh, akhirnya aku mengurngkan
niatku. Ada perasaan haru bisa menyaksikan sebuah mesjid di kota minoritas
muslim ini sampai ingin meneteskan air mata. Aku sangat rindu mendengarkan
suara azan yang biasanya selalu terdengar hingga ke kamarku. Alhamdulillah, di
mesjid ini aku dapat mendengarkan suara azan itu.
Masjid Kaohsiung, Taiwan
Ucapan
selamat menunaikan ibadah puasa dalam abjad china di pintu masuk mesjid
Ramadhan kali
ini sungguh mengesankan dan tidak akan pernah aku lupakan. Ramadhan kali ini
aku belajar menjadi dewasa dengan cara tetap berpuasa walaupun saat berada
dilingkungan yang tidak mendukung. Tetap menjadi yang tertutup, diantara yang
terbuka. Maksudnya adalah saat berada disini aku tetap mengenakan jilbabku. Walaupun
dianggap aneh, karena dari setiap sudut kota ini terlihat hanya aku saja yang
memakai jilbab. Ramadhan kali ini, membuatku menjadi semakin cinta dan bangga
menjadi seorang muslim. Dan ramadhan kali ini, aku belajar mengenalkan islam
pada teman-temanku yang kebanyakan tidak memilih agama apapun walaupun mereka
tetap peraya akan tuhan.
awalnya memang berat menjalankan ramadhan disini, namun setelah bersabar semuanya menjadi ringan, tanpa beban. semuanya untuk Allah.....
Khairunnisa Syaladin
Mahasiswa Farmasi UGM
Peserta PPSDMS Nurul Fikri VI R3 Yogyakarta Putri
Duta pelajar Aceh di Yogyakarta 2013